Oleh: Dr. Abid Muhtarom Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Lamongan
Istilah serakanomic menjadi fenomena baru yang muncul dari kegelisahan publik terhadap kondisi perekonomian Indonesia yang seakan berjalan tanpa arah kebijakan yang jelas. Ia bukan sekadar kritik, melainkan cerminan keresahan terhadap betapa terpecahnya kebijakan ekonomi kita—baik dalam substansi, implementasi, maupun orientasi. Dalam konteks ini, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi kelompok yang paling merasakan dampak dari sistem yang berjalan secara tidak sinergis tersebut. Ketika ekonomi diarahkan oleh kepentingan jangka pendek, oleh kekuatan politik yang memanfaatkan kebijakan sebagai alat pencitraan, dan oleh pasar yang dikendalikan oleh korporasi besar, maka UMKM seperti dibiarkan berjalan sendiri, bertahan hidup dalam ekosistem yang tidak adil.
UMKM adalah fondasi dari perekonomian Indonesia. Jumlahnya lebih dari 64 juta unit, menyerap hampir seluruh tenaga kerja non-formal, dan menyumbang lebih dari setengah PDB nasional. Namun kontribusi besar itu tidak sejalan dengan perlindungan dan perhatian yang diberikan. Banyak kebijakan yang secara simbolik mengangkat UMKM, tetapi substansi dan implementasinya justru sering mengecewakan. Bantuan yang dikucurkan kerap tidak tepat sasaran. Pelatihan yang diberikan tidak diikuti oleh pendampingan. Akses ke permodalan dibuka, tapi syaratnya sulit dipenuhi oleh pelaku usaha kecil. Program-program dibiarkan berjalan sendiri, tanpa evaluasi yang jujur terhadap keberhasilannya. Inilah wajah dari serakanomic yang nyata di lapangan: banyak kebijakan, tetapi tidak satu pun benar-benar menyentuh akar masalah.
Lebih menyedihkan lagi, kebijakan ekonomi untuk UMKM acap kali dimasukkan dalam kerangka politik jangka pendek. Saat musim pemilu tiba, bantuan UMKM bermunculan di mana-mana. Program modal usaha, subsidi, pelatihan kilat, dan bantuan alat produksi disalurkan secara masif, tetapi tidak berdasarkan data yang valid atau kebutuhan nyata di lapangan. UMKM hanya dijadikan alat untuk memperluas pengaruh politik. Akibatnya, ketika pemilu usai, program pun berhenti. Tidak ada kesinambungan, tidak ada pengawasan, dan tidak ada perbaikan sistem. Ini semua adalah bagian dari pasar politik yang terlalu kuat, dan menjadikan ekonomi kerakyatan hanya sebagai instrumen elektoral semata.
Dalam kondisi seperti ini, UMKM tidak hanya menghadapi tantangan dari arah atas—yakni dari kebijakan yang tidak berpihak dan pasar politik yang manipulatif—tetapi juga dari bawah, yaitu dari struktur pasar yang tidak adil. Dominasi segelintir perusahaan besar telah menciptakan lingkungan usaha yang timpang. Akses bahan baku, harga pasar, distribusi, hingga promosi dikuasai oleh kelompok yang memiliki modal besar dan jaringan luas. UMKM tidak memiliki daya tawar dalam struktur ekonomi semacam itu. Mereka harus membeli bahan baku dengan harga tinggi, tetapi menjual produknya di pasar yang dikendalikan oleh pemain besar. Di sisi lain, digitalisasi yang digadang-gadang sebagai solusi ternyata justru menciptakan monopoli digital baru. Platform-platform besar menentukan algoritma pencarian, biaya komisi, dan eksposur produk dengan cara yang hanya menguntungkan penjual besar. UMKM yang baru mulai merintis usaha sulit bersaing dalam sistem semacam ini.
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Kita membutuhkan kebijakan ekonomi yang tidak serampangan, tidak bersifat populis, dan tidak dikendalikan oleh kepentingan politik atau kekuasaan modal. Pemerintah perlu menyusun ulang kerangka ekonomi yang menyeluruh, berpijak pada data riil, serta melibatkan pelaku UMKM sebagai subjek, bukan sekadar objek pembangunan. Pendekatan yang perlu dibangun adalah pendekatan jangka panjang yang terintegras, dimulai dari pendidikan kewirausahaan, fasilitasi produksi, akses pasar yang adil, hingga ekosistem pendampingan berkelanjutan. Kampus, pemerintah, dan swasta perlu bersinergi membangun inkubator usaha yang benar-benar bekerja, bukan sekadar proyek laporan tahunan.
Selain itu, reformasi dalam pengaturan struktur pasar menjadi sangat penting. Pemerintah harus mulai berani mengintervensi pasar digital agar tidak didominasi oleh satu-dua platform raksasa. Regulasi yang melindungi usaha kecil dari ketimpangan distribusi dan biaya promosi yang tidak wajar harus segera diberlakukan. Insentif harus diberikan kepada koperasi atau platform lokal yang menjamin akses yang setara bagi pelaku UMKM. Demikian pula penguatan kelembagaan seperti KPPU perlu ditingkatkan agar mampu menindak tegas praktik monopoli yang merugikan pelaku kecil.
Kita juga perlu mengevaluasi ulang bagaimana pemerintah daerah mengelola potensi lokal. UMKM tidak seharusnya hanya diposisikan sebagai pelengkap program, tetapi harus menjadi bagian inti dari strategi pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berhenti membuat program pelatihan hanya demi penyerapan anggaran. Sebaliknya, mereka harus fokus membangun jaringan pasar, promosi produk, dan pendampingan berbasis komunitas. Klasterisasi UMKM yang sesuai dengan potensi daerah dan berbasis kolaborasi harus didorong agar pelaku usaha dapat bertumbuh bersama, saling mendukung, dan meningkatkan daya saing.
Dengan demikian, serakanomic harus kita pahami bukan hanya sebagai istilah kritik, tetapi juga sebagai peringatan bahwa kita tengah bergerak dalam jalur kebijakan yang tercerai-berai dan kehilangan arah. Dalam konteks ekonomi nasional, UMKM seharusnya menjadi jangkar stabilitas dan motor pertumbuhan yang merata. Namun jika mereka terus dibiarkan bergulat sendirian menghadapi pasar politik yang oportunis dan pasar monopoli yang eksploitatif, maka kita sedang mempertaruhkan masa depan ekonomi Indonesia itu sendiri.
Kini saatnya bagi pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat luas untuk bergerak bersama membangun tatanan ekonomi yang lebih adil. Ekonomi yang memberi ruang tumbuh bagi UMKM, yang membebaskan mereka dari tekanan politik jangka pendek, dan yang melindungi mereka dari dominasi pasar yang tak seimbang. Karena UMKM bukan sekadar pilar ekonomi, melainkan juga wajah nyata dari kemandirian, kreativitas, dan semangat hidup rakyat Indonesia. Tanpa kehadiran kebijakan yang berpihak dan sistem pasar yang adil, maka semua slogan tentang ekonomi kerakyatan akan tetap tinggal sebagai retorika belaka. Dan serakanomic, akan terus menjadi potret buram dari kegagalan kita membangun masa depan yang lebih berkeadilan.
@Editor : Ubeed
0 Comments