LAMONGAN, BIN.ID — Polemik pendataan bantuan sosial di Lamongan kembali memanas. Sejumlah keluarga miskin yang dinilai masih layak menerima bansos justru terdepak dari daftar penerima. Pendamping PKH menuding sistem baru pengklasifikasian desil Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi biang keladi.
Di Desa Weduni, Kecamatan Deket, wajah kecewa warga miskin kian sering terlihat sejak awal tahun. Bukan karena bantuan terlambat cair, melainkan karena nama mereka tiba-tiba hilang dari daftar penerima bantuan sosial (bansos). Peralihan sistem pendataan dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ke Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) disebut sebagai penyebabnya.
Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Lamongan wilayah Kecamatan Deket, Teguh Hendrik Hartarto, menuding masalah terletak pada mekanisme baru pengklasifikasian desil yang kini dipegang BPS. “Kalau masuk desil 6 sampai 10, otomatis dianggap tidak layak menerima bansos. Masalahnya, 39 kriteria penentu desil itu tidak pernah dipaparkan rinci ke kami,” kata Teguh, Jumat (15/8/2025).
Menurut Teguh, ada banyak laporan keluarga yang jelas hidup pas-pasan namun justru dikategorikan dalam desil tinggi. “Ada warga yang rumahnya reyot, penghasilan tak menentu, tapi sistem menempatkan mereka di desil 6–10. BPS hanya bilang sesuai kriteria mereka, tapi kriterianya tidak pernah dijelaskan,” ujarnya.
Ia juga membocorkan adanya fitur pembaruan desil di sistem DTSEN yang memungkinkan pengajuan penurunan desil bagi warga miskin yang tersingkir dari daftar penerima. “Saya dapat info dari operator desa, minta bukti screenshot, dan memang ada yang mengajukan penurunan desil,” ungkapnya.
Meski begitu, Teguh menegaskan proses pembaruan desil berbeda dengan penonaktifan bansos. “Kalau penonaktifan biasanya tanpa cek lapangan. Pembaruan desil ini berdasarkan kondisi nyata,” jelasnya.
Soal kemungkinan memakai Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk mengubah status, Teguh pesimis. “Kalau dasar DTSEN itu ranah BPS, kemungkinan yang bisa mengubah ya hanya BPS. SKTM mungkin berguna di tingkat lokal, tapi tidak otomatis mengubah data di DTSEN,” katanya.
Teguh mendesak BPS dan Kementerian Sosial membuka data penentuan desil secara transparan. “Kalau kriteria jelas, kita bisa menjelaskan ke warga. Jangan sampai masyarakat yang benar-benar membutuhkan malah tersingkir gara-gara sistem yang tidak terbuka,” tegasnya.
Di tengah polemik tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lamongan memastikan data kemiskinan lebih akurat melalui penerapan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2025.
Kepala BPS Lamongan, Bagyo Trilaksono, menjelaskan bahwa DTSEN merupakan data tunggal yang dihasilkan dari penggabungan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial, Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) dari Bappenas, dan Pendataan Keluarga (P3KE) dari BKKBN.
“Semua data digabung menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai key number sehingga setiap penduduk memiliki satu identitas data yang sama. Dengan begitu, tumpang tindih dan inkonsistensi data di berbagai kementerian bisa diatasi,” ujar Bagyo.
Sedangkan proses perangkingan atau pengklasifikasian ke dalam desil 1 hingga 10, Bagyo menegaskan, dilakukan oleh BPS Pusat, bukan BPS Lamongan. Desil 1 merepresentasikan 10 persen penduduk termiskin, sedangkan desil 10 menunjukkan kelompok paling mampu secara ekonomi.
“Munculnya desil itu setelah data tersebut terverifikasi oleh teman pendamping PKH, kemudian kita kirimkan ke BPS Pusat. Jadi bukan kita penentu siapa yang dapat bantuan. Keputusan akhir ada di Kementerian Sosial (Kemensos) RI sesuai program dan kemampuan anggarannya,” tuturnya.
Proses verifikasi melibatkan peninjauan langsung ke rumah warga, mencocokkan kondisi riil dengan data di sistem. Indikator yang diperiksa meliputi jenis lantai, kondisi dinding, sumber listrik, tingkat pendidikan, hingga jenis pekerjaan kepala keluarga.
"Listriknya berapa KWH, nyalur atau meteran atas nama sendiri. Selain itu dalam keluarga tersebut, siapa saja yang bekerja. Apakah hanya suami saja atau istri dan anaknya juga," katanya.
BPS Lamongan juga aktif melakukan pembaruan data melalui pelatihan kepada pendamping PKH. Awal tahun ini, tujuh kelas pelatihan digelar untuk membekali petugas melakukan update data door to door.
“Jika ditemukan data yang keliru atau anomali, misalnya rumah di data tertulis berdinding bambu tapi di lapangan sudah tembok, maka akan diperbaiki. Hasil verifikasi dikirim ke BPS Pusat untuk pembaruan DTSEN,” ujarnya.
Berbeda dengan program Sekolah Rakyat (SR) di wilayah Kecamatan Brondong yang kemarin mendapatkan kunjungan dari Mensos RI Saifullah Yusuf, BPS Lamongan terlibat dalam verifikasi data.
"Prosesnya teman pendamping PKH mengirimkan data calon siswa program SR. Kemudian kita verifikasi. Kalau memang tidak layak dicoret untuk kita mintakan ke teman pendamping PKH mencarikan penggantinya," katanya.
Penerapan DTSEN mulai digunakan pada Triwulan kedua tahub 2025. Tujuannya, menghindari penerima ganda dari program berbeda serta memastikan bantuan tepat sasaran.
“Kalau sebelumnya dapat tapi sekarang tidak, berarti sudah tidak masuk kategori desil penerima. Sebaliknya, yang dulu tidak menerima tapi sekarang dapat, itu karena sesuai hasil pemutakhiran data,” ujar Bagyo, Kepala BPS Lamongan. (Bed&jh)
0 Comments