![]() |
Dr. Abid Muhtarom, SE., MSE |
Oleh: Dr. Abid Muhtarom, SE., MSE – Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Lamongan (UNISLA)
Pemerintah saat ini tengah mengkaji ulang kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium sebagai respons atas melonjaknya harga Gabah Kering Panen (GKP), yang tercatat mencapai Rp 7.800,00 per kilogram di Kecamatan Sukodadi, Lamongan, pada tanggal 3 Agustus 2025. Kenaikan harga GKP tersebut tidak hanya berdampak pada petani sebagai produsen utama, tetapi juga turut menggerakkan seluruh rantai ekonomi sektor pangan, terutama beras medium yang selama ini menjadi pilihan utama masyarakat kelas menengah. Fenomena ini perlu dilihat secara menyeluruh agar tidak terjadi salah persepsi dalam memahami siapa yang benar-benar diuntungkan dan siapa yang terdampak.
Secara umum, kenaikan harga gabah seharusnya menjadi kabar baik bagi petani karena menjanjikan pendapatan yang lebih tinggi dari hasil panen mereka. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa keuntungan akibat kenaikan harga ini hanya dinikmati oleh segelintir petani, terutama mereka yang memiliki lahan luas, akses terhadap pupuk yang memadai, serta jaringan distribusi yang kuat. Sebaliknya, petani kecil atau buruh tani tidak serta merta memperoleh keuntungan signifikan dari lonjakan harga tersebut. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa hasil produksi cenderung menurun akibat perubahan iklim, serangan hama, dan biaya produksi yang meningkat tajam dalam beberapa bulan terakhir. Maka dari itu, penting untuk membedakan secara tegas antara petani sebagai pelaku utama pertanian dan kelompok yang hanya ikut dalam siklus kerja tani tanpa memiliki tanah atau kontrol atas input produksi.
Ketika harga gabah naik dan pemerintah lambat merespons dalam hal stabilisasi harga, pasar beras cenderung mengalami tekanan pada sisi suplai. Bulog sebagai lembaga yang ditugasi untuk menyerap gabah petani menghadapi tantangan serius, terutama jika gabah yang diserap memiliki kualitas rendah dan tidak bisa diolah menjadi beras premium. Akibatnya, pasokan beras premium yang layak konsumsi menjadi terbatas, sehingga harga beras premium pun ikut merangkak naik di pasaran. Pada titik inilah, masyarakat mulai merasakan dampaknya secara langsung karena harga kebutuhan pokok semakin tidak terkendali, sementara pendapatan masyarakat tidak mengalami peningkatan yang sepadan.
Bagi pemerintah, situasi ini merupakan tantangan ganda: di satu sisi harus menjaga daya beli masyarakat, dan di sisi lain mendorong kesejahteraan petani. Langkah menyesuaikan HET beras medium menjadi salah satu upaya untuk menjembatani kepentingan kedua kelompok tersebut. Namun kebijakan ini harus ditempuh dengan hati-hati agar tidak menimbulkan efek domino di sektor ekonomi lainnya. Salah satu sektor yang paling rentan terdampak adalah pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), khususnya sektor kuliner yang sangat bergantung pada bahan baku beras. UMKM kuliner yang menjual nasi sebagai produk utama, seperti warung makan, katering rumahan, hingga usaha makanan cepat saji berbasis lokal, harus menghadapi dilema besar: menaikkan harga jual atau menurunkan kualitas produk. Keduanya sama-sama memiliki konsekuensi serius terhadap keberlanjutan usaha mereka.
UMKM sebagai penyangga ekonomi kerakyatan menghadapi risiko penurunan daya beli konsumen yang berimbas pada menurunnya omset harian. Apalagi jika seluruh bahan baku mengalami kenaikan harga sebagai akibat dari lonjakan harga gabah dan beras, maka inflasi berlapis dapat terjadi di sektor informal dan menengah. Ini tentu menjadi alarm bagi pemerintah daerah untuk segera merumuskan langkah-langkah strategis guna melindungi pelaku UMKM, termasuk memberikan insentif harga bahan baku, subsidi silang, atau memperkuat koperasi pangan yang berbasis lokal agar mampu melakukan pembelian gabah secara langsung dan memotong rantai distribusi yang panjang dan mahal.
Kenaikan harga beras juga bisa menjadi pendorong laju inflasi secara nasional jika tidak dikendalikan dengan pendekatan lintas sektor yang terintegrasi. Ketika harga bahan pokok seperti beras meningkat, maka efeknya akan menjalar ke berbagai sektor lainnya: ongkos makan buruh meningkat, biaya hidup keluarga miskin bertambah, dan tekanan terhadap APBN dalam bentuk subsidi juga semakin besar. Oleh karena itu, intervensi pemerintah harus mencakup penguatan cadangan pangan, peningkatan kualitas data produksi, serta keterlibatan aktif dari kampus dan lembaga riset untuk memberikan rekomendasi kebijakan berbasis bukti.
Kampus seperti Universitas Islam Lamongan (UNISLA), melalui Fakultas Ekonomi dan Bisnis, memiliki tanggung jawab moral dan keilmuan untuk terlibat dalam upaya memformulasikan kebijakan berbasis riset lapangan yang valid. Data yang kami peroleh dari Kecamatan Sukodadi menunjukkan bahwa dinamika harga gabah tidak bisa dilepaskan dari struktur pasar lokal yang oligopolistik, di mana tengkulak masih memiliki peran dominan dalam menentukan harga di tingkat petani. Oleh karena itu, pemberdayaan petani melalui literasi keuangan, teknologi pertanian presisi, dan sistem pemasaran digital harus segera diperluas sebagai strategi jangka panjang untuk memperkuat posisi tawar petani dan menekan ketergantungan terhadap tengkulak.
Selain itu, transformasi digital dalam sektor pertanian harus didorong melalui sinergi antara perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan pelaku usaha. Digitalisasi harga, pemasaran online, serta integrasi sistem informasi pangan lokal akan membantu menciptakan transparansi dan efisiensi yang lebih baik dalam rantai pasok pertanian. Tidak hanya itu, lembaga-lembaga pendidikan tinggi juga harus didorong untuk menurunkan dosen dan mahasiswa dalam penelitian, Abdimas, program magang (PKL) atau KKN tematik, riset berkelanjutan yang berfokus pada ketahanan pangan dan pemberdayaan petani. Dengan demikian, kampus tidak hanya menjadi menara gading, melainkan juga kekuatan nyata dalam penguatan ekonomi desa berbasis pangan.
Dalam jangka pendek, pemerintah perlu melakukan langkah konkret seperti optimalisasi operasi pasar oleh Bulog, distribusi beras bersubsidi untuk masyarakat berpendapatan rendah, serta peninjauan kembali HET dengan mempertimbangkan fluktuasi harga gabah yang sangat cepat. Namun dalam jangka panjang, kita harus menata ulang struktur produksi dan distribusi beras nasional agar tidak terus-menerus berada dalam siklus reaktif terhadap gejolak harga musiman.
Dibutuhkan reformasi kebijakan pertanian yang lebih komprehensif dan berkeadilan, yang tidak hanya memperhatikan aspek makro seperti ketahanan pangan nasional, tetapi juga aspek mikro seperti kesejahteraan petani kecil dan keberlanjutan UMKM lokal. Apabila ini tidak segera dilakukan, maka setiap kenaikan harga gabah akan selalu diikuti dengan ketakutan inflasi, bukan menjadi peluang untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat pedesaan.
Kenaikan harga gabah kali ini harus dijadikan momentum untuk membenahi sistem agrikultur kita secara menyeluruh. Jangan sampai kenaikan harga hanya menjadi statistik semata yang tidak mampu menjawab realita sosial ekonomi yang terjadi di lapangan. Kampus harus berdampak, bukan hanya dalam kelas, tetapi juga dalam setiap denyut nadi kehidupan masyarakat, termasuk para petani di Lamongan yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan kita.
Dengan semangat kolaborasi dan visi besar membangun ketahanan ekonomi dari desa, UNISLA siap menjadi mitra strategis pemerintah daerah dalam menyusun peta jalan baru menuju pertanian yang adil, UMKM yang tangguh, dan harga pangan yang stabil.
0 Comments