Breaking News

Fenomena Rojali dan Rohana Rugikan Ritel: Omset Turun hingga 10 Persen, UMKM Terancam Terdampak

Dr.H. Abid Muhtarom, SE., MSE


Oleh Dr.H. Abid Muhtarom, SE., MSE., Dekan FEB Universitas Islam Lamongan (UNISLA)

Fenomena baru tengah ramai diperbincangkan di kalangan pelaku usaha dan pengamat ekonomi, yaitu munculnya perilaku konsumen yang dijuluki sebagai Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya), dua istilah yang lahir dari pengamatan atas perilaku masyarakat di pusat-pusat perbelanjaan modern yang sering datang secara berombongan, berinteraksi dengan produk dan pelayanan, namun pada akhirnya tidak melakukan transaksi pembelian. 

Rojali biasanya datang bersama kelompoknya ke mal hanya untuk berjalan-jalan, melihat-lihat produk, menikmati suasana, dan bahkan mencoba fasilitas-fasilitas tertentu yang disediakan oleh tenant atau manajemen mal, sementara Rohana identik dengan pengunjung yang aktif bertanya mengenai harga, kualitas, maupun fitur produk, namun pada akhirnya tidak menunjukkan niat membeli, sehingga dari sisi ekonomi mikro maupun makro, kelompok ini mulai dirasakan dampaknya oleh para pelaku usaha karena telah berkontribusi pada penurunan omzet rata-rata sebesar 8-10 persen dalam tiga bulan terakhir, berdasarkan catatan internal beberapa pusat ritel nasional.

Menurut Dr. H. Abid Muhtarom, SE., MSE., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Lamongan (UNISLA), fenomena ini mencerminkan realitas ekonomi masyarakat kelas menengah dan bawah yang sedang menghadapi tekanan daya beli akibat inflasi, naiknya harga kebutuhan pokok, dan stagnasi pendapatan, sehingga ketika masyarakat tetap ingin menikmati pengalaman berbelanja atau rekreasi ringan di pusat perbelanjaan, mereka cenderung menahan konsumsi aktual demi mengelola keuangan rumah tangga secara lebih ketat dan rasional. 

Dalam kondisi normal, tingginya jumlah pengunjung mall biasanya menjadi indikator positif yang menjanjikan potensi transaksi, tetapi dengan semakin banyaknya Rojali dan Rohana, justru jumlah pengunjung yang tinggi belum tentu berbanding lurus dengan kenaikan penjualan, sehingga model ekonomi berbasis trafik fisik perlu dikaji ulang, terutama bagi para pelaku usaha retail maupun tenant waralaba yang sangat mengandalkan transaksi langsung.

Fenomena ini pun tidak berhenti di ruang-ruang besar pusat perbelanjaan kota-kota besar, tetapi mulai merambah dan berpotensi menular ke pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), terutama di pasar tradisional, kios pinggir jalan, serta pelaku usaha yang memanfaatkan platform digital seperti media sosial dan marketplace daring. Jika penurunan pendapatan masyarakat terus berlanjut, maka efek domino bisa muncul di mana UMKM akan mengalami gejala serupa: peningkatan interaksi atau pertanyaan dari konsumen, namun tidak diikuti dengan keputusan pembelian yang cukup untuk menjaga keberlanjutan arus kas usaha. Menurut Indira Shofia Maulida, SE., MM., dosen dan pengamat UMKM dari UNISLA, UMKM berada dalam posisi yang lebih rentan dibandingkan usaha besar karena mereka tidak memiliki buffer modal, jaringan distribusi, maupun diversifikasi produk yang kuat, sehingga setiap pembelian yang tertunda atau batal memiliki dampak langsung terhadap kelangsungan usaha.

Pengalaman serupa diceritakan oleh salah satu pelaku UMKM di Lamongan, Ibu Siti, penjual keripik dan camilan rumahan, yang menyatakan bahwa, "dalam dua bulan terakhir transaksi hariannya menurun hingga 15 persen,". “Banyak yang datang ke lapak saya, nanya-nanya harga, sudah saya kasih harga diskon, katanya mau balik lagi, tapi akhirnya enggak jadi beli. Saya rugi di waktu, tenaga, dan bahan bakar untuk produksi,” ujarnya.

Situasi seperti ini jika terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan stagnasi penjualan, penumpukan stok, bahkan potensi kerugian dalam jangka menengah karena bahan makanan ringan bersifat mudah rusak (perishable goods).

Dari kacamata ekonomi makro, munculnya perilaku Rojali dan Rohana dapat dipahami sebagai gejala dari penurunan disposable income (pendapatan yang dapat dibelanjakan) masyarakat akibat tekanan inflasi yang tidak diimbangi oleh kenaikan upah. Ketika harga barang kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, dan tarif listrik naik, maka masyarakat terpaksa mengalihkan anggaran dari konsumsi sekunder atau tersier seperti baju baru, kosmetik, gadget, maupun produk rekreasi. Selain itu, fenomena ini juga mencerminkan perubahan perilaku konsumsi masyarakat yang kini lebih rasional, cermat, dan berhati-hati dalam berbelanja, serta mengindikasikan bahwa banyak konsumen melakukan survei harga secara langsung sebelum memutuskan untuk membeli di tempat atau di waktu lain. Meskipun dari sisi akademis hal ini dapat dinilai sebagai peningkatan literasi konsumen, namun dari sisi pelaku usaha, perilaku ini menimbulkan ketidakpastian dan turunnya efektivitas strategi pemasaran konvensional.

Kondisi ini juga mengingatkan pentingnya transformasi strategi pemasaran dan pelayanan pelanggan bagi pelaku usaha, terutama UMKM, yang kini harus lebih kreatif dalam menciptakan pengalaman belanja yang tidak hanya menarik pengunjung tetapi juga mendorong terjadinya transaksi. Salah satu pendekatan yang bisa dicoba adalah model pemasaran berbasis experience atau pengalaman, di mana produk tidak hanya dijual, tetapi juga diceritakan melalui narasi personal, demonstrasi langsung, atau integrasi dengan event-event komunitas kecil yang memberikan nilai tambah emosional kepada calon pembeli. Misalnya, pelaku UMKM makanan bisa membuat demo masak atau memberikan tester langsung kepada pengunjung, sementara penjual fashion bisa memanfaatkan model lokal atau kampanye media sosial dengan pendekatan komunitas.

Langkah lain yang juga direkomendasikan adalah mendorong kolaborasi antar pelaku UMKM agar bisa menciptakan pasar bersama yang lebih ramai, kompetitif, dan saling menopang. Sebagai contoh, beberapa pelaku UMKM di Kota Batu, Jawa Timur, berhasil membentuk klaster usaha kuliner yang saling mempromosikan produk satu sama lain, membagi beban promosi, serta menghadirkan paket bundling produk yang lebih menarik dan terjangkau bagi konsumen yang sensitif terhadap harga. Dalam jangka panjang, pemerintah daerah dan akademisi perlu terlibat aktif dalam memberikan pelatihan adaptasi digital, literasi pasar, serta dukungan pembiayaan berbasis kinerja agar UMKM tidak sekadar bertahan, tetapi mampu bersaing secara sehat.

Pemerintah pusat maupun daerah juga diharapkan mampu menyediakan subsidi atau insentif belanja masyarakat untuk produk lokal, khususnya pada momen-momen belanja tahunan seperti Hari UMKM Nasional, Ramadan, atau Hari Kemerdekaan, yang biasanya menjadi momentum emas dalam peningkatan konsumsi domestik. Selain itu, kampanye nasional untuk membeli produk lokal perlu digiatkan kembali agar masyarakat menyadari bahwa keputusan belanja mereka turut mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat sekitarnya. Sementara itu, pelaku usaha perlu menyadari bahwa saat ini konsumen bukan hanya mencari harga, tetapi juga makna dan relevansi sosial dari produk yang mereka beli.

Sebagai penutup, fenomena Rojali dan Rohana bukan sekadar bentuk humor sosial atau tren viral di media sosial, tetapi merupakan refleksi nyata dari kondisi ekonomi rumah tangga masyarakat Indonesia yang tengah mengalami tekanan. Di satu sisi, perilaku ini menunjukkan kecerdasan konsumen dalam mengelola keuangan, tetapi di sisi lain, ini menjadi tantangan serius bagi pelaku usaha yang bergantung pada transaksi langsung. Oleh karena itu, sinergi antara pelaku usaha, akademisi, dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjadikan fenomena ini sebagai momentum evaluasi model bisnis dan kebijakan ekonomi, agar sektor ritel maupun UMKM tetap menjadi pilar utama dalam pembangunan ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan.

0 Comments

© Copyright 2024 - Barometer Investigasi News
wa