Breaking News

Matinya "Ruang Publik" Kita: Membaca Ledakan Kejahatan Siber Indonesia Lewat Kacamata Habermas

                              Oleh: Andre Yosua

Barometer Investigasi News -  ​Jika filsuf Jerman Jürgen Habermas melihat layar gawai kita hari ini, ia mungkin akan menggelengkan kepala dengan masygul. Ia pernah membayangkan Ruang Publik (Public Sphere) sebagai tempat ideal di mana warga berdiskusi secara rasional, bebas, dan setara—mirip obrolan hangat di kedai kopi Eropa abad ke-18, tapi dalam skala raksasa.

​Namun, data terbaru dari lanskap digital Indonesia 2024-2025 menunjukkan bahwa "kedai kopi digital" kita sedang dibakar oleh para penjahat.

​Berdasarkan laporan terbaru, ancaman siber di Indonesia diprediksi mencapai 133,4 juta serangan pada awal 2025. Sepanjang 2024 saja, Polri mencatat penanganan ribuan kasus siber, didominasi oleh monster berkepala dua: Judi Online (Judol) dan Ransomware.

​Apa yang sebenarnya terjadi? Bukan sekadar pencurian data atau uang, ini adalah apa yang Habermas sebut sebagai kolonialisasi kehidupan (lifeworld) oleh sistem.

​1.Ketika "Sistem" Menjajah "Dunia Kehidupan"

​Dalam teori Habermas, ada dua dunia yang kita huni:
​Dunia Kehidupan (Lifeworld): Ruang privat tempat kita berinteraksi dengan keluarga dan teman berbasis kepercayaan, nilai, dan norma sosial.

​Sistem (System): Struktur kaku yang digerakkan oleh uang dan kekuasaan (ekonomi dan birokrasi).

​Tragedi siber di Indonesia adalah bukti nyata bahwa logika Sistem (uang/kekuasaan) telah menjajah Dunia Kehidupan kita secara brutal.

Lihatlah kasus Ransomware PDN (Pusat Data Nasional). Data pribadi—bagian paling intim dari kehidupan warga negara (tanggal lahir, riwayat kesehatan, data keluarga)—tiba-tiba disandera oleh logika uang (tebusan). Peretas tidak peduli pada norma sosial atau etika; mereka hanya peduli pada instrumental rationality (rasionalitas alat): "Bagaimana cara tercepat mengubah data ini menjadi uang?"

​Ketika 86% aduan siber ke BSSN didominasi cybercrime, itu artinya ruang digital kita bukan lagi tempat interaksi sosial, melainkan pasar gelap raksasa di mana privasi kita adalah komoditasnya.

​2.Distorsi Komunikasi: Matinya Ketulusan

​Habermas mendambakan Ideal Speech Situation (Situasi Tutur Ideal), di mana komunikasi didasarkan pada kejujuran (truthfulness) dan ketepatan (rightness).

​Kejahatan siber adalah antitesis dari mimpi ini. Serangan phishing dan penipuan online yang marak (belasan ribu laporan masuk ke kepolisian) adalah bentuk Komunikasi yang Terdistorsi (Distorted Communication) paling sempurna.

​Pelaku phishing memanipulasi bahasa—simbol kepercayaan—untuk menipu. Sebuah pesan WhatsApp "Paket Anda bermasalah" atau "Undangan Pernikahan Digital" (yang ternyata file .APK jahat) menghancurkan jembatan dasar komunikasi manusia: kepercayaan. Akibatnya, kita menjadi masyarakat yang paranoid. Kita tidak lagi bisa berkomunikasi dengan tulus; setiap tautan dicurigai, setiap pesan asing dianggap ancaman.


​3. Ruang Publik yang Tercemar

​Alih-alih menjadi ruang diskusi demokratis untuk mencerdaskan bangsa, internet Indonesia justru menjadi sarang Judi Online. Dengan ribuan kasus yang diungkap Polri, judi online bukan sekadar masalah hukum, melainkan masalah sosiologis.

​Judi online menyusup ke dalam lifeworld masyarakat kelas bawah, menjanjikan harapan palsu (logika uang) untuk menghancurkan fondasi keluarga (logika sosial). Ini adalah bentuk kapitalisme predator yang memanfaatkan teknologi untuk menyedot sumber daya ekonomi dari ruang-ruang privat rumah tangga di Indonesia.

​Apa yang Harus Dilakukan?

​Jika Habermas menjadi konsultan keamanan siber Indonesia, ia tidak hanya akan menyarankan firewall atau antivirus. Ia akan menyerukan Tindakan Komunikatif (Communicative Action).

​Masyarakat sipil (Civil Society) harus merebut kembali ruang publik ini. Kita tidak bisa hanya bergantung pada negara (yang juga sering lalai menjaga data) atau pasar (yang profit-oriented). Literasi digital bukan hanya soal "cara ganti password", tapi soal Kritis terhadap Sistem. Kita perlu membangun solidaritas digital untuk menuntut transparansi negara dalam menjaga data dan menolak narasi penipuan.

​Tanpa perlawanan kolektif, ruang digital kita hanya akan menjadi "penjara panoptikon" di mana kita diawasi, ditipu, dan diperas—jauh dari mimpi demokrasi yang pernah kita bayangkan.

0 Comments

© Copyright 2024 - Barometer Investigasi News
wa