Barometer Investigasi News - UMKM hari ini bukan sekadar istilah teknokratis dalam dokumen kebijakan, tetapi napas yang membuat ekonomi Indonesia tetap hangat dan hidup di tengah guncangan global. Data resmi menunjukkan bahwa lebih dari 64–66 juta unit UMKM beroperasi di Indonesia, menyumbang sekitar 61 persen Produk Domestik Bruto dan menyerap lebih dari 117 juta tenaga kerja, atau kurang lebih 97 persen dari total tenaga kerja nasional. Angka-angka ini, yang terus dikonfirmasi oleh berbagai publikasi pemerintah dan lembaga terkait, menegaskan bahwa berbicara tentang masa depan Indonesia 2026 tanpa menempatkan UMKM di pusat percakapan sama saja dengan membangun rumah tanpa memperhitungkan pondasinya. Tahun 2025 memberi gambaran yang cukup jelas: UMKM tidak hanya bertahan, tetapi juga menjadi bantalan sosial-ekonomi ketika gejolak harga, perubahan iklim, dan disrupsi teknologi memukul kelompok rentan terlebih dahulu.
Namun di balik statistik yang mengesankan, terdapat wajah-wajah manusia: pedagang kecil di pasar desa, pengrajin rumahan, pelaku ekonomi kreatif di gang sempit perkotaan, hingga petani yang mengolah hasil bumi menjadi produk bernilai tambah. Mereka adalah bagian dari sekitar 99 persen unit usaha di Indonesia yang dikategorikan sebagai UMKM dan mengisi hampir seluruh ruang usaha formal maupun informal di negeri ini. Ketika konsumsi rumah tangga melambat, UMKM menjadi penyangga daya beli lokal melalui jaringan kepercayaan dan kedekatan sosial yang tidak bisa digantikan oleh platform besar sekalipun. Di saat krisis, penyesuaian skala usaha yang lincah membuat UMKM relatif lebih adaptif, tetapi pada saat yang sama membuka kenyataan pahit: posisi tawar yang lemah, keterbatasan akses pembiayaan yang terjangkau, serta literasi digital dan keuangan yang belum merata. Menghadapi tahun 2026, membaca data 2025 berarti mengakui bahwa UMKM adalah mayoritas yang menentukan, tetapi sekaligus mayoritas yang masih rentan.
Pemerintah pada 2025 mulai merajut jawaban melalui beragam program yang layak dibaca sebagai pijakan strategis memasuki 2026. Kerja sama lintas kementerian melahirkan inisiatif Akselerasi Ekspor Kreasi Indonesia (AKSI) 2025 yang dirancang khusus untuk mempercepat ekspor produk kreatif berbasis UKM dan memperkuat fondasi ekonomi nasional melalui diplomasi ekonomi kreatif. Langkah ini melengkapi upaya lebih luas untuk mendorong UMKM naik kelas dan go export, antara lain melalui penguatan ekosistem pembiayaan, integrasi skema kredit, dan pengembangan rantai pasok yang menghubungkan pelaku UMKM dengan pasar nasional maupun global. Di sisi lain, program pelatihan digital gratis bagi 1.000 UMKM kreatif yang dijalankan Kementerian yang membidangi ekonomi kreatif bersama mitra platform pembelajaran menunjukkan kesadaran bahwa daya saing hari ini tidak hanya diukur dari kapasitas produksi, tetapi juga dari kemampuan mengelola pengetahuan, data, dan jaringan secara daring. Ini semua bukan sekadar deretan program, melainkan sinyal bahwa negara mulai membangun ekosistem, bukan hanya menyalurkan bantuan sesaat.
Di tingkat akar rumput, inovasi UMKM sepanjang 2025 memberikan cermin bahwa daya cipta justru sering lahir di tengah keterbatasan. Pendirian berbagai creative hub dan inkubator lokal yang menghubungkan pelaku UMKM dengan mentor, teknologi, dan akses pasar telah melahirkan kisah-kisah sukses daerah yang mendapat pengakuan nasional. Kolaborasi antara UMKM dan BUMN, misalnya dalam pola kemitraan rantai pasok, membuka peluang bagi pelaku usaha kecil untuk masuk ke standar kualitas dan volume pasokan yang sebelumnya terasa mustahil dicapai; hal ini diperkuat oleh kebijakan yang mendorong korporatisasi rantai nilai dan pemanfaatan belanja pemerintah untuk menyerap produk lokal. Sementara itu, praktik transformasi hijau—mulai dari pengolahan limbah pertanian menjadi produk bernilai tambah hingga penerapan prinsip produksi berkelanjutan menunjukkan bahwa isu lingkungan tidak lagi monopoli perusahaan besar, tetapi mulai menjadi bagian dari strategi bertahan dan tumbuh pelaku UMKM, sejalan dengan dorongan organisasi bisnis nasional dan mitra pembangunan. Tahun 2025 dengan demikian menghadirkan laboratorium besar: siapa yang berani berinovasi, berjejaring, dan belajar cepat, dialah yang paling siap memasuki 2026.
Mempersiapkan 2026 berarti mengubah seluruh mosaik data dan inisiatif 2025 menjadi agenda kolektif yang lebih membumi. Dari sisi kebijakan, penguatan basis data terpadu UMKM, penyelarasan regulasi perpajakan dan perizinan yang sederhana, serta penajaman insentif bagi pelaku yang menerapkan praktik hijau dan meningkatkan kualitas kerja layak harus menjadi prioritas. Dari sisi kampus—termasuk fakultas ekonomi dan bisnis di daerah—UMKM tidak boleh hanya hadir sebagai bahan studi kasus di kelas, tetapi sebagai mitra pembelajaran hidup melalui inkubasi bisnis, pendampingan pencatatan keuangan, dan riset terapan yang langsung menjawab kebutuhan pelaku usaha di desa dan kota. Dari sisi kelembagaan ketenagakerjaan dan dewan pengupah, peningkatan produktivitas UMKM perlu dikaitkan dengan standar kerja yang lebih manusiawi sehingga pertumbuhan tidak dibayar dengan kelelahan berkepanjangan para pekerjanya. Dan dari sisi organisasi keagamaan dan kepemudaan, pendampingan wirausaha yang berkeadilan, beretika, dan berorientasi pemberdayaan harus berjalan beriringan dengan penguatan karakter, karena pada akhirnya UMKM adalah ruang perjumpaan nilai-nilai kejujuran, kepercayaan, dan gotong royong yang menjadi jiwa ekonomi Indonesia.
Jika 2025 adalah cermin, maka 2026 adalah jalan yang harus dilalui bersama, dengan segala ketidakpastian dan harapan yang menyertainya. Di hadapan jutaan pelaku UMKM yang menghidupi keluarganya dari usaha kecil, pilihan utama negeri ini bukanlah apakah akan mendukung UMKM atau tidak, melainkan sejauh mana dukungan itu sungguh-sungguh terarah, konsisten, dan memanusiakan mereka. Data resmi boleh berhenti pada persentase PDB dan jumlah tenaga kerja, tetapi di balik setiap persen ada keluarga yang berharap anaknya bisa terus sekolah, ada pekerja yang ingin masa tuanya lebih terjamin, dan ada pemuda yang bercita-cita menjadikan gagasannya bermanfaat untuk banyak orang. Menyongsong 2026, merawat nafas UMKM berarti menjaga agar harapan-harapan kecil itu tidak padam; sebab ketika UMKM kuat, bukan hanya ekonomi yang tumbuh, tetapi juga martabat Indonesia yang ikut tegak berdiri.
Oleh: Dr. H. Abid Muhtarom, SE., SPd., MSE
(Dekan FEB UNISLA, Wakil Dewan Pengupah Kabupaten Lamongan, Wakil Ketua PC GP Ansor Kabupaten Lamongan)
Editor : Bed

0 Comments