Breaking News

Impor _Thrifting Clothes_ Ancaman Nyata bagi UMKM dan Industri Tekstil Nasional

Oleh: Dr. Mohammad Yaskun, S.E., M.M.
Wakil Dekan I (FEB UNISLA)

Lamongan – Pemerintah sebenarnya telah menetapkan larangan impor pakaian bekas (thrifting clothes) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022. Aturan ini dibuat untuk melindungi industri tekstil nasional dan menjaga kesehatan masyarakat. Namun, lemahnya pengawasan di lapangan membuat praktik impor ilegal masih marak terjadi. Fenomena impor pakaian bekas ini merupakan persoalan serius yang tidak boleh dianggap remeh. 

Meski bagi sebagian masyarakat hal ini tampak sepele karena dianggap sekadar memenuhi kebutuhan sandang dengan harga murah namun dari perspektif ekonomi, sosial, dan industri, dampaknya sangat luas dan mengkhawatirkan. Sebagai akademisi dan pemerhati ekonomi rakyat, saya memandang bahwa masuknya pakaian bekas impor adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta industri tekstil dalam negeri. Fenomena ini menciptakan ketidakseimbangan dalam ekosistem ekonomi nasional yang seharusnya berorientasi pada kemandirian dan pemberdayaan produksi lokal.

Kelebihan utama pakaian bekas impor di mata konsumen adalah harga yang sangat murah. Namun, harga murah itu memiliki “biaya sosial dan ekonomi” yang mahal. Produk-produk tersebut masuk ke pasar tanpa melalui mekanisme produksi dalam negeri, tanpa menyerap tenaga kerja lokal, dan sering kali tanpa membayar pajak. Artinya, setiap baju bekas yang dibeli konsumen sesungguhnya menggerus pendapatan pelaku UMKM dan memotong rantai ekonomi lokal yang selama ini menopang banyak keluarga.

Di sisi lain, UMKM sektor fesyen dan konveksi lokal harus berjuang keras untuk menjual produk dengan harga yang pantas karena biaya produksi mulai dari bahan baku, tenaga kerja, hingga distribusi semuanya berasal dari dalam negeri. Ketika produk mereka harus bersaing dengan barang bekas impor yang dijual sangat murah, maka daya saing mereka otomatis menurun. Ini dapat berujung pada berkurangnya omzet, pemutusan hubungan kerja, hingga gulung tikar.

Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam industri tekstil. Mulai dari pabrik pemintalan benang, tenun, konveksi, hingga industri kreatif fesyen semuanya saling terhubung dalam satu rantai ekonomi yang kuat. Namun, banjir pakaian bekas impor justru menghambat rantai produksi ini.

Dalam konteks ekonomi nasional, impor pakaian bekas juga bertentangan dengan visi kemandirian ekonomi dan semangat Gerakan Bangga Buatan Indonesia. Negara kita seharusnya memperkuat industri dalam negeri, bukan justru membuka pintu bagi barang bekas dari luar negeri yang merusak struktur pasar domestik.Pemerintah sebenarnya sudah memiliki regulasi tegas yang melarang impor pakaian bekas, namun implementasinya di lapangan masih perlu diperkuat. 

Penegakan hukum yang lemah membuka celah bagi masuknya barang-barang tersebut secara ilegal. Inilah yang harus menjadi perhatian serius semua pihak bukan hanya pemerintah, tetapi juga aparat, pelaku usaha, dan masyarakat.

Selain aspek ekonomi, impor pakaian bekas juga membawa dampak sosial dan lingkungan yang tidak kecil. Banyak dari pakaian bekas yang masuk sebenarnya sudah tidak layak pakai dan berpotensi menjadi limbah tekstil baru. Akibatnya, volume sampah pakaian meningkat dan menambah beban lingkungan.

Secara sosial, masyarakat menjadi terbiasa dengan pola konsumsi instan lebih suka membeli barang murah tanpa mempertimbangkan kualitas dan keberlanjutan. Pola ini bertentangan dengan upaya membangun kesadaran ekonomi yang mandiri dan berdaya saing.

Sebagai solusi, saya mendorong penguatan program pemberdayaan UMKM di sektor fesyen dan tekstil melalui pelatihan desain, inovasi produk, serta akses pembiayaan yang lebih mudah. Pemerintah dan perguruan tinggi perlu bersinergi untuk membantu pelaku UMKM agar mampu menghasilkan produk yang berkualitas dan sesuai dengan tren pasar.

Konsumen pun memegang peran penting. Setiap keputusan membeli adalah pilihan ekonomi. Ketika masyarakat memilih produk lokal, maka uang yang mereka keluarkan akan kembali berputar di dalam negeri, memperkuat perekonomian nasional, dan menciptakan lapangan kerja.

Impor pakaian bekas bukan hanya soal barang murah, tetapi tentang masa depan ekonomi bangsa. Jika kita terus membiarkan pasar lokal dibanjiri produk asing, apalagi barang bekas, maka lambat laun kemandirian ekonomi kita akan terkikis.

Sebagai akademisi dan praktisi ekonomi, saya mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama menolak praktik impor pakaian bekas dan mengutamakan produk buatan dalam negeri. Mari kita jadikan semangat “Cinta Produk Lokal” bukan sekadar slogan, melainkan gerakan nyata dalam menjaga keberlanjutan UMKM dan industri tekstil nasional.

( Bed)

0 Comments

© Copyright 2024 - Barometer Investigasi News
wa